KASIR4D - Aku bertemu dengan sahabatku Lita sekarng dia sudah berkeluarga dan menetap di Jakarta, suatu hari aku bertemu dengannya lagi saat di maen ke Surabaya dengan anaknya yang masih keci dan suaminya, wajah dan bentuk Lita masih seperti dulu pertma aku kenal dia , kulitnya putih, bibirmya tipis merah merona rambutnya yang panjang, dan tubuh yang terawat.
Perjumpaan di Surabaya ini mengingatkan peristiwa sepuluh tahun lalu ketika ia masih kuliah di sebuah perguruan tinggi ternama di Surabaya. Selama kuliah, ia tinggal di rumah bude, kakak ibunya yang juga kakak ibuku. Rumahku dan rumah bude agak jauh dan waktu itu kami jarang ketemu Lita.
Aku mengenalnya sejak kanak-kanak.
Ia memang gadis yang lincah, terbuka dan tergolong berotak encer. Setahun setelah aku menikah, isteriku melahirkan anak kami yang pertama. Hubungan kami rukun dan saling mencintai.
Kami tinggal di rumah sendiri, agak di luar kota. Sewaktu melahirkan, isteriku mengalami pendarahan hebat dan harus dirawat di rumah sakit lebih lama ketimbang anak kami. Sungguh repot harus merawat bayi di rumah. Karena itu, ibu mertua, ibuku sendiri, tante (ibunya Lita) serta Lita dengan suka rela bergiliran membantu kerepotan kami
Semua berlalu selamat sampai isteriku diperbolehkan pulang dan langsung bisa merawat dan menyusui anak kami.
Hari-hari berikutnya, Lita masih sering datang menengok anak kami yang katanya cantik dan lucu. Bahkan, heran kenapa, bayi kami sangat lekat dengan Lita. Kalau sedang rewel, menangis, meronta-ronta kalau digendong Lita menjadi diam dan tertidur dalam pangkuan atau gendongan Lita.
Sepulang kuliah, kalau ada waktu, Lita selalu mampir dan membantu isteriku merawat si kecil. Lama-lama Lita sering tinggal di rumah kami. Togel Online
Isteriku sangat senang atas bantuan Lita. Tampaknya Lita tulus dan ikhlas membantu kami.
Apalagi aku harus kerja sepenuh hari dan sering pulang malam. Bertambah besar, bayi kami berkurang nakalnya. Lita mulai tidak banyak mampirke rumah. Isteriku juga semakin sehat dan bisa mengurus seluruh keperluannya. Namun suatu malam ketika aku masih asyik menyelesaikan pekerjaan di kantor, Lita tiba-tiba muncul.
“Ada apa Lit, malam-malam begini.”
“Mas Danur, tinggal sendiri di kantor?”
“Ya, Dari mana kamu?”
“Sengaja kemari.”
Lita mendekat ke arahku. Berdiri di samping kursi kerja. Lita terlihat mengenakan rok dan Tshirt warna kesukaannya, pink. Tercium olehku bau parfum khas remaja.
“Ada apa, Lita?”
“Mas.. aku pengin seperti Mbak Ratih.”
“Pengin? Pengin apanya?” Lita tidak menjawab tetapi malah melangkah kakinya yang putih mulus hingga berdiri persis di depanku. Dalam sekejap ia sudah duduk di pangkuanku.
“Lita, apa-apaan kamu ini..” Tanpa menungguku selesai bicara, Lita sudah menyambarkan bibirnya di bibirku dan menyedotnya kuat-kuat. Bibir yang selama ini hanya dapat kupandangi dan bayangkan, kini benar-benar mendarat keras.
Kulumanya penuh nafsu dan nafas halusnya menyeruak. Lidahnya dipermainkan cepat dan menari lincah dalam rongga mulutku. Ia mencari lidahku dan menyedotnya kuat-kuat.
Aku berusaha melepaskannya namun sandaran kursi menghalangi. Lebih dari itu, terus terang ada rasa nikmat setelah berbulan-bulan tidak berhubungan intim dengan isteriku.
Lita merenggangkan pagutannya dan katanya, “Mas, aku selalu ketagihan Mas. Aku suka berhubungan dengan laki-laki, bahkan beberapa dosen telah kuajak beginian. Tidak bercumbu beberapa hari saja rasanya badan panas dingin. Aku belum pernah menemukan laki-laki yang pas.”
Kuangkat tubuh Lita dan kududukkan di atas kertas yang masih berserakan di atas meja kerja. Aku bangkit dari duduk dan melangkah ke arah pintu ruang kerjaku. Aku mengunci dan menutup kelambu ruangan.
“Lit.. Kuakui, aku pun kelaparan. Sudah empat bulan tidak bercumbu dengan Ratih.”
“Jadikan aku Mbak Ratih, Mas. Ayo,” kata Lita sambil turun dari meja dan menyongsong langkahku.
Ia memelukku kuat-kuat sehingga dadanya yang empuk sepenuhnya menempel di dadaku.
Terasa pula penisku yang telah mengeras berbenturan dengan perut bawah pusarnya yang lembut.
Lita merapatkan pula perutnya ke arah kemaluanku yang masih terbungkus celana tebal. Lita kembali menyambar leherku dengan kuluman bibirnnya yang merekah bak bibir artis terkenal. Aliran listrik seakan menjalar ke seluruh tubuh. Aku semula ragu menyambut keliaran Lita. Namun ketika kenikmatan tiba-tiba menjalar ke seluruh tubuh, menjadi mubazir belaka melepas kesempatanini.
“Kamu amat bergairah, Lita..” bisikku lirih di telinganya.
“Hmm.. iya.. Sayang..” balasnya lirih sembari mendesah.
“Aku sebenarnya menginginkan Mas sejak lama.. ukh..” serunya sembari menelan ludahnya.
“Ayo, Mas.. teruskan..”
“Ya Sayang. Apa yang kamu inginkan dari Mas?”
“Semuanya,” kata Lita sembari tangannya menjelajah dan mengelus batang kemaluanku. Bibirnya terus menyapu permukaan kulitku di leher, dada dan tengkuk. Perlahan kusingkap T-Shirt yang dikenakannya.
Kutarik perlahan ke arah atas dan serta merta tangan Lita telah diangkat tanda meminta T-Shirt langsung dibuka saja. Kaos itu kulempar ke atas meja. Kedua jemariku langsung memeluknya kuat-kuat hingga badan Lita lekat ke dadaku.
Kedua bukitnya menempel kembali, terasa hangat dan lembut. Jemariku mencari kancing BH yang terletak di punggungnya. Kulepas perlahan, talinya, kuturunkan melalui tangannya. BH itu akhirnya jatuh ke lantai dan kini ujung payudaranya menempel lekat ke arahku.
Aku melorot perlahan ke arah dadanya dan kujilati penuh gairah. Permukaan dan tepi putingnya terasa sedikit asin oleh keringat Lita, namun menambah nikmat aroma gadis muda.
Tangan Lita mengusap-usap rambutku dan menggiring kepalaku agar mulutku segera menyedot putingnya.
“Sedot kuat-kuat Mas, sedoott..” bisiknya. Aku memenuhi permintaannya dan Lita tak kuasa menahan kedua kakinya. Ia seakan lemas dan menjatuhkan badan ke lantai berkarpet tebal. Ruang ber-AC itu terasa makin hangat.
“Mas lepas..” katanya sambil telentang di lantai. Lita meminta aku melepas pakaian. Lita sendiri pun melepas rok dan celana dalamnya. Aku pun berbuat demikian namun masih kusisakan celana dalam. Lita melihat dengan pandangan mata sayu seperti tak sabar menunggu.
Segera aku menyusulnya, tiduran di lantai. Kudekap tubuhnya dari arah samping sembari kugosokkan telapak tanganku ke arah putingnya. Lita melenguh sedikit kemudian sedikit memiringkan tubuhnya ke arahku. Sengaja ia segera mengarahkan putingnya ke mulutku.
“Mas sedot Mas.. teruskan, enak sekali Mas.. enak..” Kupenuhi permintaannya sembari kupijat-pijat pantatnya. Tanganku mulai nakal mencari selangkangan Lita. Rambutnya tidak terlalu tebal namun datarannya cukup mantap untuk mendaratkan pesawat “cocorde” milikku. Kumainkan jemariku di sana dan Lita tampak sedikit tersentak.
“Ukh.. khmem.. hss.. terus.. terus,” lenguhnya tak jelas. Sementara sedotan di putingnya kugencarkan, jemari tanganku bagaikan memetik dawai gitar di pusat kenikmatannya.
Terasa jemari kanan tengahku telah mencapai gumpalan kecil daging di dinding atas depan vaginanya, ujungnya kuraba-raba lembut berirama. Lidahku memainkan puting sembari sesekali menyedot dan menghembusnya. Jemariku memilin klitoris Lita dengan teknik petik melodi.
Lita menggelinjang-gelinjang, melenguh-lenguh penuh nikmat. “Mas.. Mas.. ampun.. terus, ampun.. terus ukhh..” Sebentar kemudian Lita lemas. Namun itu tidak berlangsung lama karena Lita kembali bernafsu dan berbalik mengambil inisitif.
Tangannya mencari-cari arah kejantananku. Kudekatkan agar gampang dijangkau, dengan serta merta Lita menarik celana dalamku. Bersamaan dengan itu melesat keluar pusaka kesayangan Ratih. Akibatnya, memukul ke arah wajah Lita.
“Uh.. Mas.. apaan ini,” kata Lita kaget. Tanpa menunggu jawabanku, tangan Lita langsung meraihnya. Kedua telapak tangannya menggenggam dan mengelus penisku.
“Mas.. ini asli?”
“Asli, 100 persen,” jawabku.
Lita geleng-geleng kepala. Lalu lidahnya menyambar cepat ke arah permukaan penisku yang berdiameter 6 cm dan panjang 19 cm itu, sedikit agak bengkok ke kanan.
Di bagian samping kanan terlihat menonjol aliran otot keras.
Bagian bawah kepalanya, masih tersisa sedikit kulit yang menggelambir. Otot dan gelambiran kulit itulah yang membuat perempuan bertambah nikmat merasakan tusukan senjata andalanku.
“Mas, belum pernah aku melihat penis sebesar dan sepanjang ini.”
“Sekarang kamu melihatnya, memegangnya dan menikmatinya.”
“Alangkah bahagianya MBak Ratih.”
“Makanya kamu pengin seperti dia, kan?”
Lita langsung menarik penisku. “Mas, aku ingin cepat menikmatinya. Masukkan, cepat masukkan.”
Lita menelentangkan tubuhnya. Pahanya direntangkannya. Terlihat betapa mulus putih dan bersih.
Diantara bulu halus di selangkangannya, terlihat lubang vagina yang mungil. Aku telah berada di antara pahanya. Exocet-ku telah siap meluncur. Lita memandangiku penuh harap.
“Cepat Mas, cepat..”
“Sabar Lita. Kamu harus benar-benar terangsang, Sayang..”
Namun tampaknya Lita tak sabar. Belum pernah kulihat perempuan sekasar Lita. Dia tak ingin dicumbui dulu sebelum dirasuki penis pasangannya.
“Cepat Mas..” ajaknya lagi. Kupenuhi permintaannya, kutempelkan ujung penisku di permukaan lubang vaginanya, kutekan perlahan tapi sungguh amat sulit masuk, kuangkat kembali namun Lita justru mendorongkan pantatku dengan kedua belah tangannya. Pantatnya sendiri didorong ke arah atas.
Tak terhindarkan, batang penisku bagai membentur dinding tebal. Namun Lita tampaknya ingin main kasar. Aku pun, meski belum terangsang benar, kumasukkan penisku sekuat dan sekencangnya. Meski perlahan dapat memasukirongga vaginanya, namun terasa sangat sesak, seret, panas, perih dan sulit.
Lita tidak gentar, malah menyongsongnya penuh gairah. “Jangan paksakan, Sayang..” pintaku.
“Terus. Paksa, siksa aku. Siksa.. tusuk aku. Keras.. keras jangan takut Mas, terus..” Dan aku tak bisa menghindar. Kulesakkan keras hingga separuh penisku telah masuk. Lita menjerit, “Aouwww.. sedikit lagi..” Dan aku menekannya kuat-kuat.
Bersamaan dengan itu terasa ada yang mengalir dari dalam vagina Lita, meleleh keluar. Aku melirik, darah.. darah segar. Lita diam. Nafasnya terengah-engah. Matanya memejam. Aku menahan penisku tetap menancap.
Tidak turun, tidak juga naik. Untuk mengurangi ketegangannya, kucari ujung puting Lita dengan mulutku. Meski agak membungkuk, aku dapat mencapainya. Lita sedikit berkurang ketegangannya.
Beberapa saat kemudian ia memintaku memulai aktivitas. Kugerakkan penisku yang hanya separuh jalan, turun naik dan Lita mulai tampak menikmatinya. Pergerakan konstan itu kupertahankan cukup lama.
Makin lama tusukanku makin dalam. Lita pasrah dan tidak sebuas tadi.
Ia menikmati irama keluar masuk di liang kemaluannya yang mulai basah dan mengalirkan cairan pelicin. Lita mulai bangkit gairahnya menggelinjang dan melenguh dan pada akhirnya menjerit lirih, “Uuuhh.. Mas.. uhh.. enaakk.. enaakk.. Terus.. aduh.. ya ampun enaknya..” Lita melemas dan terkulai. Kucabut penisku yang masih keras, kubersihkan dengan bajuku. Aku duduk di samping Lita yang terkulai.
“Lita, kenapa kamu?”
“Lemas, Mas. Kamu amat perkasa.” Kasir4D
“Kamu juga liar.”
Lita memang sering berhubungan dengan laki-laki. Namun belum ada yang berhasil menembus keperawanannya karena selaput daranya amat tebal. Namun perkiraanku, para lelaki akan takluk oleh garangnya Lita mengajak senggama tanpa pemanasan yang cukup. Gila memang anak itu, cepat panas.
Sejak kejadian itu, Lita selalu ingin mengulanginya. Namun aku selalu menghindar. Hanya sekali peristiwa itu kami ulangi di sebuah hotel sepanjang hari. Lita waktu itu kesetanan dan kuladeni kemauannya dengan segala gaya.
Lita mengaku puas.
Setelah lulus, Lita menikah dan tinggal di Jakarta. Sejak itu tidak ada kabarnya. Dan, ketika pulang ke Surabaya bersama anaknya, aku berjumpa di rumah bude.
“Mas Danur, mau nyoba lagi?” bisiknya lirih.
Aku hanya mengangguk.
“Masih gede juga?” tanyanya menggoda.
“Ya, tambah gede dong.”
Dan malamnya, aku menyambangi di hotel tempatnya menginap. Pertarungan pun kembali terjadi dalam posisi sama-sama telah matang.
“Mas Danur, Mbak Ratih sudah bisa dipakai belum?” tanyanya.
“Belum, dokter melarangnya,” kataku berbohong.
Dan, Lita pun malam itu mencoba melayaniku hingga kami sama-sama terpuaskan
0 comments:
Post a Comment